PENGUMUMAN: Terhitung sejak tanggal 2 April 2016, pustaka.pandani.web.id tidak lagi kami update! kerena seluruh update terbaru kami dialihkan kesitus pak.pandani.web.id. Harap dimakulumi.

Bujang Pemburu yang tersesat, Dengar Adzan Dan Orang Mengaji Di Tengah Hutan

Juli Efendi, pria 37 tahu­nan itu nyaris bertaruh nya­wa di hutan belantara di puncak Bukit Barisan Ka­bupaten Pa­sa­man. Pria yang disapa Bu­jang itu tersesat di hutan lebat, saat mencari kambing hutan pada Sabtu, 28 Februari 2015 lalu.

Empat hari tiga malam dia kesasar di hutan. Bila malam datang, pria yang telah belasan tahun memburu kambing hu­tan itu, harus memanjat pohon untuk beristirahat. Bila perut lapar, hanya cendawan yang mengganjal lambungnya. Bah­kan, keesokan harinya, Bujang yang kemalaman di Bukit Pakau nyaris disantap seekor beruang besar.

“Malam pertama di hutan, saya bermalam di bukit bung­kuih nasi. Tidak terjadi apa-apa di sana. Tidak ada gangguan makhluk halus dan binatang buas lainnya. Namun, pada malam kedua saya dihampiri oleh seekor beruang yang se­dang mengintai madu serangga (ga­lo-galo-minang),” ujar Bujang.

Kedatangan beruang bu­kan sengaja mencari Bujang. Akan tetapi, kebetulan saja Bujang beristirahat pada se­batang pohon, yang mana di samping pohon itu terdapat pohon besar yang memiliki sarang serangga tersebut.

“Awalnya saya sempat di­ger­tak (dangok-minang-red) oleh beruang dua kali. Tapi saya tidak bergerak dan diam saja. Mungkin beruang itu mencium bau manusia. Namun, ketika dia hendak menyerang sarang serangga itu, saya yang dulu berso­rak. Hingga akhirnya beruang itu terkejut dan balik. Tidak jadi me­man­jat pohon besar itu yang mana ada saya disamping pohon tersebut. Saya pun selamat sampai saya me­ning­galkan bukit tersebut esok pagi­nya,” ujarnya yang masih lemas itu.

Suami dari Upiak Butet itu pun menceritakan, awal mula dia terse­sat dan kehilangan arah dalam hutan belantara tersebut. Bujang yang sudah belasan tahun memasang jerat kam­bing hutan di lokasi tersebut, tetapi belum pernah sampai ke puncak Bukit Silang Tigo. Karena pada waktu itu, tidak satupun jerat­nya yang berisi, Bujang ingin ber­main-main melihat lokasi sampai ke puncak bukit, lokasi di mana bukit silang tigo berada. Dari puncak bukit ini, nampak tiga arah dataran melan­dai terhampar luas. “Saat itu (Sabtu 28/2), waktu sudah menunjukan pukul dua siang. Karena semua jerat saya kosong, saya lan­jutkan ke jalan puncak Bukit Silang Tiga. Namun, belum sampai di atas puncak bukit, cuaca mulai mendung. Kawasan hutan tertutup kabut sampai pan­dangan mata hanya beberapa meter saja,”katanya.

“Kabut datang, penglihatan mulai kabur. Saya berbalik arah untuk pulang. Saya tinggalkan se­mua bekal dan golok disarungkan lalu diikatkan ke pinggang. Kemudian berlari secepatnya ke arah lurah (pulang). Namun sudah letih berlari tidak juga sampai ke pemukiman. Ternyata saya digiring ke Bukit Bungkuih Nasi, dan sudah tiga kali bolak-balik,” paparnya.

Dinamakan Bukit Bungkuih Nasi, kata Bujang, karena bentuk bukit yang menyerupai bungkus nasi, tak ada bahu bukitnya dan hanya seonggok saja menjulang tinggi ke udara.

“Sudah tiga kali berputar-putar, sampainya di puncak yang sama. Barulah saya tersadar kalau saya sudah tersesat. Semua badan terasa sakit dan kedinginan karena hujan lebat. Saya bermalam untuk pertama kalinya di sini,” tuturnya.

Golok yang disarungkan di­pinggang, sudah tidak ada lagi. Diri hendak merokok karena sudah kedinginan namun rokok dan korek api pun tidak ada. Hanya air minum satu botol saja masih tersisa. “Saya tidak tahu entah kapan saya sampai di puncak bukit itu,” akunya.

Malam pertama di hutan itu terasa biasa saja. Hanya bunyi-bunyian hewan hutan yang memekak telinga. Suara Burung Kuwau itu menemani sunyinya malam Bujang di hutan.

Mingkokok (jenis tokek) sudah berbunyi dua kali. Bagi Bujang, itu sebuah pertanda baginya kalau hari sudah terang. Dia melanjutkan perjalanan pada Minggu paginya. “Saya terdengar bunyi kendaraan, malam itu. Minggu pagi, saya ham­piri bunyi kendaraan itu. Sudah lama berjalan, namun hanya bukit berla­pis bukit saja yang saya temukan. Sayapun kembali balik ke Bukit Bungkuih Nasi dan bertemu dengan aliran sungai,” terangnya.

Dari aliran sungai itu, Bujang bisa turun ke Mungun. Dia terus menelusuri aliran sungai. Dia meli­hat banyak ikan di sungai-sungai itu. Hendak hati ingin mengambil agak seekor ikan, namun apa daya, Bujang tidak begitu ceketan berenang. Kemudian dia bertemu dengan sala (penangkap ikan tradisional), na­mun sala itu kelihatan sudah me­lapuk dan tidak ada isi ikannya lagi. Karena air yang dia hiliri memiliki lubuk yang dalam, dia pun menyu­suri jalan darat memanjat bukit.

Di bagian lain dari lurah bukit tersebut, kembali Bujang bertemu dengan aliran sungai. Dia pun kembali mendapatkan tanda-tanda yang sama. Ketemu dengan sala ikan yang sudah lapuk. Di antara dua aliran sungai itu, ada bukit yang tinggi yaitu Bukit Tapak Kayu.

Dia pun beristirahat di Bukik Tapak Kayu itu, dengan posisi sangat tinggi. Dari bukit ini, dia melihat peladangan warga. Dia pun melihat ada sekelompok hutan yang memi­liki tanaman kecil-kecil. Setelah banyak bukit dia tempuh, pelada­ngan yang dicarinya ternyata tidak ada.

Kemudian dia kembali ke Bukit Tapak Kayu. Dari sana dia berjalan ke bagian utara, ternyata bukit berlapis-lapis. Selanjutnya, Bujang kembali lagi ke Bukit Tapak Kayu, dan berjalan ke arah barat. Namun dia melihat puncak Gunuang Ameh. Dia pun memperkirakan tidak mung­kin arahnya ke sana. Akhirnya, Senin malamnya dihabiskan di Bukit Tapak Kayu itu.

Malam sudah datang pula. Hujan masih saja lebat, membasahi seluruh pakaian yang dipakai Bujang. Malam itu, Bujang kembali memanjat pohon untuk beristirahat. Sampai sekitar pukul 03.00 wib dini hari, barulah hujan berhenti.

Seluruh badan Bujang sudah sakit-sakit, kaku dan mendingin. Hanya bagian dada saja yang masih terasa panas. Hanya suara azan dan mengaji saja yang terdengar olehnya. Mungkin karena kiriman doa dari kampuang mereka.

“Malam itu saya sudah meniat­kan ‘kok kapanjang juo umua ang yuang, basobok lah ang lai jo manusia, tapi kok indak, lah nasib ang sampai di siko ma’ itu niat saya,” ujar Bujang yang mengaku saat itu sudah putus asa. 

Sumber: Haluan

0 Response to "Bujang Pemburu yang tersesat, Dengar Adzan Dan Orang Mengaji Di Tengah Hutan"

Post a Comment

Terima Kasih Telah Berkunjung di Pustaka Pandani
Silahkan komentar anda,


Salam

Irfan Dani, S. Pd.Gr