Jakarta - Menjadi seorang guru di perbatasan adalah sebuah tantangan yang hanya segelintir orang mau melakukannya. Salah satu yang telah berhasil melakukannya adalah Eko Rizqa Sari, guru SM3T (Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal) yang bertugas di Kecamatan Kayan Selatan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Pemuda asal Kebumen, Jawa Tengah ini mengajar di SMA Negeri 9 Malinau. Sekolah ini berada di Desa Long Ampung, Kecamatan Kayan Selatan yang hanya berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari Serawak, Malaysia.
Eko Rizqa Sari yang merupakan lulusan Pendidikan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta ini bercerita saat dia pertama kali melakukan perjalanan mendebarkan menuju Desa Long Ampung. Jalur udara adalah satu-satunya akses yang bisa ditempuh dari kota Malinau menuju Kecamatan Kayan Selatan. Tidak ada jalur darat karena medan yang dilalui adalah hutan belantara yang sebagian besar masuk wilayah Taman Nasional Kayan Mentarang. Ini adalah area hutan konservasi terbesar kedua setelah hutan Amazon di Amerika Selatan.
Pesawat yang dipakai oleh Eko untuk menuju ke Desa Long Ampung adalah Twin Otter. Di Indonesia, pesawat ini sering digunakan untuk menjangkau daerah pelosok seperti di Kalimantan dan Papua. Pesawat kecil nan tangguh ini bisa lepas landas dan mendarat di landasan yang “seadanya”. Saat terbang, pesawat ini tidak bisa stabil seperti pesawat-pesawat besar. Penumpang akan merasakan sensasi seperti naik roller coaster saat naik pesawat buatan Kanada ini.
“Saya mabuk udara saat naik pesawat itu. Seperti naik roller coaster saja. Apalagi pas lepas landas, pesawat bergetar hebat. Hampir saja muntah tapi untung sudah keburu mendarat.” Kata Eko saat menceritakan pengalaman pertamanya naik pesawat Twin Otter.
Perjalanan udara dari kota Malinau sampai Kayan Selatan ditempuh sekitar 1,5 jam. Jaraknya 300 km, mungkin hampir sama dengan jarak antara Jogja Surabaya. Padahal Kayan Selatan hanyalah sebuah kecamatan di Kabupaten Malinau. Ternyata kabupaten ini memang luas sekali, bahkan luasnya 1,5 kali luas Provinsi Jawa Barat! Sebagian besar wilayahnya masih hutan rimba dengan bukit-bukit terjal dan sungai-sungai besar di dalamnya.
Setelah mendarat di pusat Kecamatan Kayan Selatan, perjalanan tidak lantas berakhir sampai di situ. Eko masih harus menuju ke Desa Long Ampung dengan membonceng motor yang dibawa oleh salah seorang warga setempat yang sudah siap menjemputnya. Medan yang dilalui kali ini berupa tanah basah yang jika kena hujan akan menjadi lumpur. Di sepanjang jalan, banyak sekali kubangan air yang dalamnya bisa mencapai setengah betis. Jika sampai salah pilih jalan, mesin motor bisa terperosok ke dalam kubangan air. Tapi untungnya, motor yang Eko tumpangi saat itu selamat sampai tujuan.
Sesampai di Desa Long Ampung, kisah Eko Rizqa Sari sebagai seorang guru di perbatasan pun dimulai. Menurut cerita pria berkacamata ini, gedung sekolah dimana ia bertugas yaitu SMA Negeri 9 Malinau, mirip sekali dengan yang ada di film Laskar Pelangi. Sebenarnya gedung ini bukan milik SMA Negeri 9 Malinau tapi milik SMP Negeri 1 Kayan Selatan. SMA Negeri 9 Malinau belum punya gedung sendiri karena memang masih baru (berdiri tahun 2012). Jumlah muridnya saja sedikit sekali. Kelas X berjumlah 21 murid dan kelas XI 20 murid.
Proses belajar mengajar dilaksanakan mulai siang hari setelah murid SMP Negeri 1 Kayan Selatan bubar sekolah. Saat hari sudah mulai gelap, saat itu lah lonceng tanda selesai kegiatan di kelas berbunyi. Saat dimana para murid sudah tidak bisa lagi melihat tulisan di papan tulis karena memang tidak ada listrik di sekolah ini. Untuk keperluan guru yang membutuhkan listrik seperti ngeprint, biasanya memakai mesin genset yang tidak selalu ada. Kadang ada juga pembangkit listrik tenaga surya yang terpasang di atap gedung sekolah. Tapi juga tidak selalu ada karena wilayah Kayan Selatan tidak setiap hari cerah.
Saat hari pertama di sekolah, tak satupun guru yang ada di situ. Kepala sekolah sedang ada urusan di Samarinda, sedangkan beberapa guru honorer lain sedang di kota Malinau karena saat itu sedang ada tes CPNS. Akhirnya, guru SM3T lah yang mengatur semua urusan di sekolah saat itu. Saat kepala sekolah sedang bepergian, Eko lah yang biasanya menggantikan posisinya. Bahkan, selama setahun Eko mengabdi di SMA Negri 9 Malinau, ia sempat tiga kali menjadi pelaksana tugas kepala sekolah.
Beberapa murid Eko yang merupakan suku Dayak Kenyah berasal dari Desa Lidung Payau yang berjarak sekitar 20 km dari Desa Long Ampung. Selama di desa Long Ampung, mereka tinggal di sebuah asrama desa. Seminggu sekali mereka pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak terjal yang ada di dalam hutan. Tak hanya itu, mereka juga harus melewati beberapa jembatan darurat yang berasal dari pohon yang roboh dan bambu-bambu yang dipotong melintang. Mereka biasanya pulang untuk mengambil bahan makanan dan untuk berkumpul dengan keluarga masing-masing. Dari sini, Eko melihat betapa berat perjuangan mereka demi bisa terus bersekolah.
Salah satu yang diajarkan oleh Eko sebagai guru SM3T yang bertugas selama satu tahun di Desa Long Ampung adalah melaksanakan upacara bendera. Tidak hanya murid SMA Negeri 9 Malinau yang ia ajari, tapi juga murid SMP Negeri 1 Kayan Selatan dan SD Negeri 1 Kayan Selatan. Menurutnya, murid-murid di SD ini bahkan sama sekali belum pernah melaksankan upacara bendera. Padahal sekolah-sekolah ini terletak tidak jauh dari Malaysia. Oleh sebab itu, demi menjaga nasionalisme murid-muridnya agar tidak luntur, Eko rutin mengajari mereka melaksanakan upacara bendera.
Itulah sepenggal cerita dari salah seorang pejuang pendidikan yang bertugas menjadi guru di perbatasan Indonesia Malaysia. Ilmu dan teori pendidikan yang sudah dikuasai saat kuliah, belum tentu cocok dengan kondisi di lapangan, apalagi di daerah pedalaman seperti di Kalimantan. Kita hanya bisa melihatnya saat kita betul-betul peduli dan ikhlas untuk langsung terjun ke lapangan. Semoga cerita ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua demi kemajuan pendidikan di Indonesia. (fila174)
“Kami guru SM3T ditempatkan di sini untuk menggapai mereka yang terluar, menjangkau mereka yang terdepan agar mereka tidak lagi tertinggal.”
Eko Rizqa Sari yang merupakan lulusan Pendidikan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta ini bercerita saat dia pertama kali melakukan perjalanan mendebarkan menuju Desa Long Ampung. Jalur udara adalah satu-satunya akses yang bisa ditempuh dari kota Malinau menuju Kecamatan Kayan Selatan. Tidak ada jalur darat karena medan yang dilalui adalah hutan belantara yang sebagian besar masuk wilayah Taman Nasional Kayan Mentarang. Ini adalah area hutan konservasi terbesar kedua setelah hutan Amazon di Amerika Selatan.
Pesawat yang dipakai oleh Eko untuk menuju ke Desa Long Ampung adalah Twin Otter. Di Indonesia, pesawat ini sering digunakan untuk menjangkau daerah pelosok seperti di Kalimantan dan Papua. Pesawat kecil nan tangguh ini bisa lepas landas dan mendarat di landasan yang “seadanya”. Saat terbang, pesawat ini tidak bisa stabil seperti pesawat-pesawat besar. Penumpang akan merasakan sensasi seperti naik roller coaster saat naik pesawat buatan Kanada ini.
“Saya mabuk udara saat naik pesawat itu. Seperti naik roller coaster saja. Apalagi pas lepas landas, pesawat bergetar hebat. Hampir saja muntah tapi untung sudah keburu mendarat.” Kata Eko saat menceritakan pengalaman pertamanya naik pesawat Twin Otter.
Perjalanan udara dari kota Malinau sampai Kayan Selatan ditempuh sekitar 1,5 jam. Jaraknya 300 km, mungkin hampir sama dengan jarak antara Jogja Surabaya. Padahal Kayan Selatan hanyalah sebuah kecamatan di Kabupaten Malinau. Ternyata kabupaten ini memang luas sekali, bahkan luasnya 1,5 kali luas Provinsi Jawa Barat! Sebagian besar wilayahnya masih hutan rimba dengan bukit-bukit terjal dan sungai-sungai besar di dalamnya.
Setelah mendarat di pusat Kecamatan Kayan Selatan, perjalanan tidak lantas berakhir sampai di situ. Eko masih harus menuju ke Desa Long Ampung dengan membonceng motor yang dibawa oleh salah seorang warga setempat yang sudah siap menjemputnya. Medan yang dilalui kali ini berupa tanah basah yang jika kena hujan akan menjadi lumpur. Di sepanjang jalan, banyak sekali kubangan air yang dalamnya bisa mencapai setengah betis. Jika sampai salah pilih jalan, mesin motor bisa terperosok ke dalam kubangan air. Tapi untungnya, motor yang Eko tumpangi saat itu selamat sampai tujuan.
Sesampai di Desa Long Ampung, kisah Eko Rizqa Sari sebagai seorang guru di perbatasan pun dimulai. Menurut cerita pria berkacamata ini, gedung sekolah dimana ia bertugas yaitu SMA Negeri 9 Malinau, mirip sekali dengan yang ada di film Laskar Pelangi. Sebenarnya gedung ini bukan milik SMA Negeri 9 Malinau tapi milik SMP Negeri 1 Kayan Selatan. SMA Negeri 9 Malinau belum punya gedung sendiri karena memang masih baru (berdiri tahun 2012). Jumlah muridnya saja sedikit sekali. Kelas X berjumlah 21 murid dan kelas XI 20 murid.
Proses belajar mengajar dilaksanakan mulai siang hari setelah murid SMP Negeri 1 Kayan Selatan bubar sekolah. Saat hari sudah mulai gelap, saat itu lah lonceng tanda selesai kegiatan di kelas berbunyi. Saat dimana para murid sudah tidak bisa lagi melihat tulisan di papan tulis karena memang tidak ada listrik di sekolah ini. Untuk keperluan guru yang membutuhkan listrik seperti ngeprint, biasanya memakai mesin genset yang tidak selalu ada. Kadang ada juga pembangkit listrik tenaga surya yang terpasang di atap gedung sekolah. Tapi juga tidak selalu ada karena wilayah Kayan Selatan tidak setiap hari cerah.
Saat hari pertama di sekolah, tak satupun guru yang ada di situ. Kepala sekolah sedang ada urusan di Samarinda, sedangkan beberapa guru honorer lain sedang di kota Malinau karena saat itu sedang ada tes CPNS. Akhirnya, guru SM3T lah yang mengatur semua urusan di sekolah saat itu. Saat kepala sekolah sedang bepergian, Eko lah yang biasanya menggantikan posisinya. Bahkan, selama setahun Eko mengabdi di SMA Negri 9 Malinau, ia sempat tiga kali menjadi pelaksana tugas kepala sekolah.
Beberapa murid Eko yang merupakan suku Dayak Kenyah berasal dari Desa Lidung Payau yang berjarak sekitar 20 km dari Desa Long Ampung. Selama di desa Long Ampung, mereka tinggal di sebuah asrama desa. Seminggu sekali mereka pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak terjal yang ada di dalam hutan. Tak hanya itu, mereka juga harus melewati beberapa jembatan darurat yang berasal dari pohon yang roboh dan bambu-bambu yang dipotong melintang. Mereka biasanya pulang untuk mengambil bahan makanan dan untuk berkumpul dengan keluarga masing-masing. Dari sini, Eko melihat betapa berat perjuangan mereka demi bisa terus bersekolah.
Salah satu yang diajarkan oleh Eko sebagai guru SM3T yang bertugas selama satu tahun di Desa Long Ampung adalah melaksanakan upacara bendera. Tidak hanya murid SMA Negeri 9 Malinau yang ia ajari, tapi juga murid SMP Negeri 1 Kayan Selatan dan SD Negeri 1 Kayan Selatan. Menurutnya, murid-murid di SD ini bahkan sama sekali belum pernah melaksankan upacara bendera. Padahal sekolah-sekolah ini terletak tidak jauh dari Malaysia. Oleh sebab itu, demi menjaga nasionalisme murid-muridnya agar tidak luntur, Eko rutin mengajari mereka melaksanakan upacara bendera.
Itulah sepenggal cerita dari salah seorang pejuang pendidikan yang bertugas menjadi guru di perbatasan Indonesia Malaysia. Ilmu dan teori pendidikan yang sudah dikuasai saat kuliah, belum tentu cocok dengan kondisi di lapangan, apalagi di daerah pedalaman seperti di Kalimantan. Kita hanya bisa melihatnya saat kita betul-betul peduli dan ikhlas untuk langsung terjun ke lapangan. Semoga cerita ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua demi kemajuan pendidikan di Indonesia. (fila174)
“Kami guru SM3T ditempatkan di sini untuk menggapai mereka yang terluar, menjangkau mereka yang terdepan agar mereka tidak lagi tertinggal.”
Sumber: batasnegeri
0 Response to "Kisah Guru di Perbatasan Indonesia Malaysia "
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di Pustaka Pandani
Silahkan komentar anda,
Salam
Irfan Dani, S. Pd.Gr