PENGUMUMAN: Terhitung sejak tanggal 2 April 2016, pustaka.pandani.web.id tidak lagi kami update! kerena seluruh update terbaru kami dialihkan kesitus pak.pandani.web.id. Harap dimakulumi.

Ketika Guru Sudah "Tidak Perawan"

DUNIA pendidikan nasional mengalami goncangan begitu hebat menyusul pemberitaan kasus guru besar Universitas Hasanuddin (Unhas) yang tertangkap tangan nyabu di hotel bersama seorang mahasiswi. Selain kasus tersebut, ada lagi kasus yang tak kalah hebohnya dan juga diperankan oleh seorang pendidik.

Dikatakan tak kalah hebohnya karena sang guru agama tega mencabuli enam siswinya saat praktik salat di sekolah. Kejadian ini terjadi di salah satu SMK di Kendari awal November lalu. Perbuatan biadab seperti ini bukan kali pertama dilakukan oknum guru pada siswinya. Sebelumnya, siswi kelas XII di sebuah SMA di kawasan Jakarta Timur mendapatkan perlakukan serupa dari guru yang juga wakil kepala sekolah.

Sejumlah kasus yang diperankan oleh pendidik di atas sudah menjadi bukti yang tak terbantahkan jika bangsa ini telah mengalami keruntuhan moral yang seakan tidak terbendung lagi. Hal ini juga menjadi tamparan bagi dunia pendidikan kita. Ini menjadi bukti riil rendahnya kualitas moral guru Indonesia. Memang, peradaban suatu bangsa akan maju dengan adanya pendidikan. Namun juga sebaliknya, sebuah bangsa akan mengalami kehancuran jika dunia pendidikan diserahkan kepada pendidik yang tak bermoral.

Ketika guru tidak bisa memahami tugas dan peran yang diembannya, maka guru hanya mampu mentransfer ilmu pengetahuan dan melupakan moralitas. Akibatnya, bangsa ini tidak akan mampu melahirkan generasi penurus yang berkualitas dan berkarakter. Innalillah...

Pendidikan kita tampaknya sedang memasuki masa kronis stadium akhir. Kalau sudah begini, tentu saja, guru tidak lagi menjadi agen untuk memanusiakan manusia (humanizing the human being) sebagaimana peran mereka yang seharusnya. Kita semua tahu, kehormatan seorang guru terletak pada kemuliaan profesinya sebagai sosok pemberi teladan. Namun, jika guru telah lari dan melenceng dari kodratnya sebagai suri teladan dengan melakukan tindakan-tindakan amoral, maka itu sama halnya dengan guru menghancurkan dan meruntuhkan kehormatannya sendiri. Guru demikian tak ubahnya seorang gadis yang telah kehilangan keperawanannya, alias tak punya kehormatan dan harga diri.Innalillah…..

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Barangkali demikian perumpamaan yang sejak dulu diberikan tentang pentingnya menjaga perilaku atau moralitas guru. Guru yang mempunyai moralitas negatif akan berimbas pada moralitas siswanya pula. Sejatinya, guru harus menjadi panutan dan teladan bagi para anak didiknya sebagaimana asal kata guru itu sendiri: digugu dan ditiru. Sebagai guru, konsekuensinya adalah harus mampu berperilaku lebih dari yang bukan guru, khususnya dari sisi moralitas.

Guru adalah sumber ide; guru adalah sumber pengetahuan; dan guru adalah mesin pencetak manusia cerdas dan berakhlak mulia. Guru memegang peranan vital dalam menentukan nasib bangsa ini. Kelak, baik-buruknya nasib bangsa ini akan sangat bergantung pada kemampuan guru mencetak manusia-manusia yang cerdas dan berkarakter. Karena itu, seorang guru sudah sepantasnya sadar dan bangga atas tugas mulia yang diembannya.

Seyogianya, segala perilaku dan budi pekerti seorang guru memberi contoh teladan yang baik bagi anak didik. Oleh karena itu, pendidik harus terlebih dahulu memperbaiki dirinya sebelum melakukan transfer ilmu dan nilai kepada anak didiknya dalam proses pembelajaran. Guru yang sadar akan tugasnya sebagai pendidik tidak akan mudah terbawa ke dalam arus perubahan sosial kultur yang negatif. Sebab, dia menyadari bahwa semuanya itu hanya akan merusak kewibawaan dan citranya sebagai pendidik. Kepribadian adalah cermin dari citra guru dan akan memengaruhi interaksi antara guru dan anak didik. Karena itu, kepribadian merupakan faktor yang menentukan tinggi rendahnya martabat seorang guru.

Lebih dari itu semua, guru merupakan mikrokosmos manusia dan secara umum dapat dijadikan sebagai tipologi dan parameter makhluk terbaik. Perlu kita sadari, nilai-nilai moral yang dimiliki anak didik sebagian besar berasal dari luar yaitu lingkungan. Adapun salah satu lingkungan tersebut adalah lingkungan sekolah di mana guru atau pendidik merupakan sentralnya. Di era multi milenium seperti sekarang ini, diperlukan seorang pendidik yang memiliki karakter, pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang mumpuni sehingga mampu memotivasi dan menanamkan nilai-nilai kehidupan pada anak didik. Tugas seorang guru tidak hanya mengajar (transfer of knowledge), tetapi juga harus mampu menanamkan nilai-nilai dasar guna membangun karakter atau akhlak murid.

Memang, perubahan kondisi di semua lini kehidupan yang dipicu oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat, membawa serta perubahan-perubahan dalam cara berpikir, cara menilai, serta cara menghargai hidup dan kenyataan. Ini semua berimplikasi pada kekaburan nilai yang ada dan kekaburan dimensi nilai yang sebenarnya selalu ada dalam proses perkembangan dan perubahan masyarakat, tanpa terkecuali dalam pribadi seseorang. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab pendidik untuk melihat implikasi nilai etik dalam proses perubahan yang terjadi. Melalui tanggung jawabnya itu, guru diharapkan agar dapat membantu peserta didik untuk mengambil sikap dan keputusan dalam merencanakan kehidupan secara berarti. Proses ini disebut value clarification, alias pendidikan nilai.

Di tengah hingar-bingar yang masih memasung pendidikan nasional kita, sudah sepatutnya pemerintah sebagai penyelanggara utama pendidikan nasional memiliki upaya dan gempuran khusus untuk menyelesaikan persolan pendidikan yang kian pelik ini. Pemerintah harus punya “senjata dan saringan khusus” untuk menyaring calon guru yang betul-betul memiliki kapabilitas dan kredibilitas yang mumpuni.

Guru yang profesional bukanlah semata-mata mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Tingkat pendidikan hanyalah sekelumit komponen kecil dari sekian banyak indikator yang harus dimiliki oleh guru. Guru yang paripurna adalah guru yang memiliki akhlak yang baik sehingga betul-betul dapat dijadikan sebagai modal untuk menjadi seorang guru. Bukankah tugas utama guru adalah mentransfer nilai-nilai moral? Ini yang harus diupayakan oleh penyelenggara pendidikan kita, menelurkan guru-guru yang berakhlak mulia namun tetap tidak mengesampingkan kualitas dari segi pendidikan.

Inilah jadinya, ketika guru sudah tidak perawan. Jika kita sedikit kritis, maka kita akan melihat betapa media massa belakangan ini kian santer memberitakan maraknya petinggi negara yang bertitel profesor-doktor namun akhirnya meringkuk di balik jeruji besi karena lamurnya akhlak mereka. Secara riil, dari kasus ini, secara tidak langsung dapat kita tarik benang merah bahwa pendidikan nasional kita selama ini — termasuk juga guru-guru kita, telah sukses mencetak manusia-manusia yang tidak berakhlak, binal, bebal, dan bobrok (3B), serta doyan korupsi. Bukankah koruptor yang kita kenal saat ini adalah produk dari pendidikan nasional kita? Bukankah mereka adalah peserta didik dari guru-guru kita terdahulu? Lantas apa yang salah dengan pendidikan nasional kita? Apa yang salah dengan guru-guru kita?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu menjadi bahan kontemplasi untuk kita: untuk masyarakat, pemerintah, orangtua, stakeholderdan seluruh elemen yang bersentuhan langsung dengan pendidikan, khususnya guru.

Wejangan kepada anak didik tentang moralitas tentu akan lebih meresap jika keteladanan juga ditunjukkan oleh guru. Harapannya, tak ada lagi kasus atau tindakan yang mencederai keanggunan guru sebagai profesi yang menjunjung tinggi penegakan moralitas anak bangsa. Tindakan guru yang melenceng dari moralitas dapat merusak tatanan dari pendidikan secara keseluruhan. Meski tantangan ke depan sangat berat bagi guru dalam menegakkan moralitas anak bangsa ini, hal tersebut dapat dijadikan amanah untuk tetap memberikan yang terbaik untuk bangsa dan Tanah Air. Namun, sejatinya setiap elemen bangsa sebaiknya bahu membahu memperbaiki moralitas generasi penerus bangsa ini. Sinergitas antara semua elemen bangsa akan lebih memberi hasil yang lebih baik.

Memang, menelurkan manusia-manusia cerdas dan berakhlak mulia bukanlah perkara mudah. Butuh waktu yang cukup panjang. Kita sadar bahwa persoalan pendidikan adalah persoalan yang rumit dan kompleks. Namun, jika detik ini juga — tanpa ada istilah nanti dulu — guru-guru kita berani dan getol meningkatkan profesionalitas mereka melalui usaha yang kontinyu dan berkesinambungan dengan mengacu pada etos kebangkitan dan restorasi pendidikan, maka sudah dapat dipastikan pendidikan kita akan terancam menghasilkan manusia-manusia cerdas, berakhlak mulia, dan mampu menjawab tantangan peradaban menuju Indonsia Emas 2045.

Meski sulit, namun tetaplah yakin, saat ini belum terlambat. “Kalau bukan sekarang kapan lagi. Kalau bukan guru siapa lagi”.

Oleh: Ady Akbar Palimbang
Universitas Halu Oleo Kendari

Sumber: Okezone


0 Response to "Ketika Guru Sudah "Tidak Perawan""

Post a Comment

Terima Kasih Telah Berkunjung di Pustaka Pandani
Silahkan komentar anda,


Salam

Irfan Dani, S. Pd.Gr