BALANGAN – Kondisi sebuah sekolah darurat (SD) di Desa Mamatang, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan (Kalsel), sungguh memprihatinkan. "Gedung" sekolah itu hanya beratap terpal dan berlantai tanah.
Kemarin, di sekolah yang dibangun dengan hasil swadaya masyarakat tersebut, hanya ada empat murid yang bersekolah.
Selebihnya terpaksa absen karena orang tuanya tidak bisa mendampingi. ’’Biasanya, kalau turun semua, ada 15 murid,’’ ujar Kepala Desa Mamatang Kastan yang merupakan penggagas berdirinya SD itu.
Dia mengungkapkan, perjuangan dalam mendirikan sekolah darurat itu tidak mudah. Padahal, sudah ada warga yang bersedia mewakafkan tanahnya.
Sebab, kata dia, sempat ada salah seorang warga setempat yang tidak setuju tanpa alasan yang jelas. Namun, menurut Kastan, yang bersangkutan tidak setuju lantaran tidak tega melihat anak-anak kalau memang harus bersekolah dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Yaitu, kepanasan saat matahari bersinar dan kebasahan ketika hujan datang. ’’Saya bersama warga lainnya bisa mendirikan sekolah ini pada awal 2015,’’ ungkapnya.
Sebelumnya, saat masa-masa awal sekolah berdiri, Kastan hanya mengajar seorang diri. Namun, sekarang, dia dibantu tiga warga lain untuk memberikan pelajaran.
Mereka adalah Ungit, 25; Herman Suandi, 23; dan Yulianti, 21. Ketiganya hanya berijazah SMA sederajat. Bahkan, Yulianti hanya berijazah paket C.
Menurut Kastan, hati Yulianti langsung tergerak untuk berbagi ilmu kepada anak-anak. Dia pun rela meluangkan waktunya di sela mencari nafkah sebagai penyadap karet.
’’Menyadap karet bisa kapan saja. Berbagi ilmu tidak bisa setiap saat. Saya berharap bisa terus mengajar walau sampai tua,’’ ucap ibu satu anak tersebut kepada wartawan.
Sementara itu, Sarudin, pemilik tanah yang mewakafkan lahannya untuk pembangunan sekolah darurat, menerangkan, di desa itu, hampir semua orang tua tidak bisa membaca dan menulis.
Berangkat dari sana, dia pun tidak berpikir panjang untuk mewakafkan tanahnya saat ada wacana dari warga untuk membangun sekolah.
’’Kami tidak mau masa depan anak-anak kami nanti seperti kami. Masa depan mereka harus cerah,’’ ujarnya.
Senada dengan Sarudin, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Balangan Mandan menuturkan, masyarakat adat Dayak Balangan tersebar di sekitar pegunungan Meratus dengan kebiasaan bertempat tinggal di ladang.
Dia ingin pemerintah daerah memprogramkan pembangunan fasilitas publik di sekitar lereng.
Kemarin, di sekolah yang dibangun dengan hasil swadaya masyarakat tersebut, hanya ada empat murid yang bersekolah.
Selebihnya terpaksa absen karena orang tuanya tidak bisa mendampingi. ’’Biasanya, kalau turun semua, ada 15 murid,’’ ujar Kepala Desa Mamatang Kastan yang merupakan penggagas berdirinya SD itu.
Dia mengungkapkan, perjuangan dalam mendirikan sekolah darurat itu tidak mudah. Padahal, sudah ada warga yang bersedia mewakafkan tanahnya.
Sebab, kata dia, sempat ada salah seorang warga setempat yang tidak setuju tanpa alasan yang jelas. Namun, menurut Kastan, yang bersangkutan tidak setuju lantaran tidak tega melihat anak-anak kalau memang harus bersekolah dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Yaitu, kepanasan saat matahari bersinar dan kebasahan ketika hujan datang. ’’Saya bersama warga lainnya bisa mendirikan sekolah ini pada awal 2015,’’ ungkapnya.
Sebelumnya, saat masa-masa awal sekolah berdiri, Kastan hanya mengajar seorang diri. Namun, sekarang, dia dibantu tiga warga lain untuk memberikan pelajaran.
Mereka adalah Ungit, 25; Herman Suandi, 23; dan Yulianti, 21. Ketiganya hanya berijazah SMA sederajat. Bahkan, Yulianti hanya berijazah paket C.
Menurut Kastan, hati Yulianti langsung tergerak untuk berbagi ilmu kepada anak-anak. Dia pun rela meluangkan waktunya di sela mencari nafkah sebagai penyadap karet.
’’Menyadap karet bisa kapan saja. Berbagi ilmu tidak bisa setiap saat. Saya berharap bisa terus mengajar walau sampai tua,’’ ucap ibu satu anak tersebut kepada wartawan.
Sementara itu, Sarudin, pemilik tanah yang mewakafkan lahannya untuk pembangunan sekolah darurat, menerangkan, di desa itu, hampir semua orang tua tidak bisa membaca dan menulis.
Berangkat dari sana, dia pun tidak berpikir panjang untuk mewakafkan tanahnya saat ada wacana dari warga untuk membangun sekolah.
’’Kami tidak mau masa depan anak-anak kami nanti seperti kami. Masa depan mereka harus cerah,’’ ujarnya.
Senada dengan Sarudin, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Balangan Mandan menuturkan, masyarakat adat Dayak Balangan tersebar di sekitar pegunungan Meratus dengan kebiasaan bertempat tinggal di ladang.
Dia ingin pemerintah daerah memprogramkan pembangunan fasilitas publik di sekitar lereng.
Sumber: JPNN
0 Response to "Sedih Banget Lihat Kondisi Sekolah seperti Ini"
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di Pustaka Pandani
Silahkan komentar anda,
Salam
Irfan Dani, S. Pd.Gr