Catatan: Fatul Qorib
Source: www.fathulqorib.com
Bagi orang pegunungan tengah Papua, makan keladi dan sayur tanpa lauk adalah hal yang biasa. Namun bagaimana jika orang yang terbiasa tinggal di jawa dengan fasilitas lengkap, kemudian harus tinggal setahun di pegunungan Papua demi pendidikan? berikut kisah tujuh orang guru yang ada di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang.
Tujuh orang guru program Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) dari Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, ini telah berada di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang sejak dua bulan yang lalu. Mereka adalah Agung Subekti (22), Dimas Aji Bagus Saptanu (24), Wasirin (22), Hesty Yussanti (25), Rezky Astarina (23), Fera Indrawati (26), dan Aprillia Fitriani (24).
Menuju Distrik Kiwirok ini, kita harus menggunakan pesawat khusus yang berbadan ramping sehingga hanya cukup untuk memuat 12 orang saja dari Banadara Sentani, Kabupaten Jayapura. Perjalanan memang hanya memakan waktu kurang lebih 45 menit, tetapi itu lebih dari cukup untuk mencari kehidupan masyarakat terluar sebagaimana tujuan dari program SM3T: Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.
Apalagi Distrik Kiwirok termasuk daerah terluar yang berbatasan langsung dengan PNG dengan 12 kampung yang tersebar dalam medan yang luar biasa sulit. Dari kampung-kampung inilah, anak-anak sekolah setiap paginya pergi ke Distrik Kiwirok, dimana terletak satu-satunya Sekolah Dasar, Sekolah Memengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas baru berusia dua tahun.
Saat Cenderawasih Pos berkunjung ke base camp para pengajar ini, mereka tengah memasak nasi dan sayur di tungku yang terbuat dari tumpukan batu. Berbeda dengan kebiasaan saat di kampus, mereka masih bisa menggunakan magiccom yang untuk menanak nasi tinggal mencolokkan ke listrik. Di sini, setiap kali memasak mereka harus bersusah payah mencari kayu bakar dan minyak tanah agar kayu bisa menyala.
“Pertama kali tiba di sini, kami jengkel sekali karena api tidak mau menyala. Kita coba berkali-kali tapi tidak mau menyala. Yah, kami belum pengalaman menggunakan kompor alami begini, tapi sekarang kita sudah biasa,”kata Agung Subekti yang biasa dipanggil Bekti itu.
Lelaki asal Pemalang, Jawa Tengah itu mengatakan bahwa kesulitan di Kiwirok bagi kelompoknya adalah harga kebutuhan bahan-bahan pokok yang amat mahal, sinyal HP tidak ada, listrik yang sering kali mati, termasuk tidak adanya hiburan sama sekali. Hal-hal ini, kata Bekti, kadang membuat frustasi, namun sering malah dijadikan sebagai tantangan untuk menjadi lebih tangguh di pedalaman.
Ditambahkan oleh Dimas, bahwa untuk mendapatkan sinyal HP, mereka harus menuju ke bukit yang disebut penduduk sebagai Puncak Dua, dengan jarak kurang lebih empat jam berjalan kaki bagi penduduk Kiwirok. Namun Dimas ragu, bahwa dalam waktu empat jam dirinya akan mampu berada di Puncak Dua.
“Kalau kita mungkin enam jam baru sampai di atas, bisa dibayangkan 12 jam kita butuh untuk pulang pergi. Makanya kita sampai sekarang belum ke sana padahal kami belum pernah menghubungi keluarga di rumah juga,”jelas lelaki asal Lumajang ini.
Mengenai soal listrik, Wasirin melanjutkan, disuplai dari Pembangkit Listrik Tenaga Air Microhidro atau PLTAM yang terletak di sungai sebelah barat Distrik. Empat hari pertama sejak kedatangannya berasama enam kawannya itu, dia disambut dengan matinya listrik sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan apapun pada saat malam hari.
“ Di sini kalau hujan deras lampu mati karena turbin PLTA tidak jalan. Makanya kita selalu jaga-jaga lilin. Kalau dulu pertama kalinya ke sini, empat hari tanpa listrik, kita pakai lampu tempel bikin sendiri,”tambah Wasirin yang rindu dengan kampung halamannya di Brebes.
Hesty dan Fera, dua perempuan asal Banyuwangi dan Malang ini, mengaku sebenarnya menikmati berada di Kiwirok. Namun pernah selama dua minggu bulan lalu, kehabisan bahan makanan berupa beras sehingga harus makan tela dan keladi yang harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan beras. Hesty tidak pernah membayangkan akan mengalami hal seperti itu di perantauan.
“Harga beras 1kg itu Rp 60rb, harga Rinso 1kg Rp 60rb, harga minyak 1lt Rp 60rb, dan harga gula 1kg juga Rp 60rb. Jadi setiap harga satuan di sini itu Rp 60 ribu. Dibandingkan dengan di Jawa misalnya, ini puluhan kali lipat. Ini yang kadang membuat uang yang kami bawa tidak cukup sehingga menyulitkan kami yang ingin bertahan dengan nasi,”sambung Fera, mahasiswi asli Malang.
Maka dari itu, tidak heran jika di sana para guru ini tidak pernah makan daging sejak berada di Kwiirok. Sehari-hari mereka hanya makan nasi, sayur, dan ikan asin yang dipesannya jauh-jauh hari dari Sentani, Kabupaten Jayapura. Jika selama satu tahun bertugas di daerah Kiwirok tersebut, maka otomatis selama itulah mereka tidak akan menyentuh daging, kecuali ada yang menjamu mereka.
“Di sini semua warganya wellcome banget jadi kita betah di sini. Meskipun pernah kekurangan bahan makanan, tapi warga di sini baik sehingga kami dipinjami beras, dan tidak jarang dikasih sayur-sayuran. Kangen keluarga itu pasti, tapi kami akan bertahan karena tujuan kami mulia, untuk mencerdaskan bangsa Indonesia,”tegas Aprillia yang disambut senyum oleh Bekti, Dimas, Wasirin, Hesty, Fera, dan Rezky.
Itu hanyalah sekelumit dari kehidupan awal ketujuh guru SM3T yang merelakan dirinya mengajar di daerah terdepan, terluar, dan terpencil. Bagaimana dengan suasana belajar di sekolah yang ada di Kiwirok? Termasuk kisah seorang siswa yang harus berjalan sejak pukul 02.00 WIT demi bisa sekolah.. (bersambung)
Link: http://www.fathulqorib.com
0 Response to "Kisah Guru SM-3T yang Mengabdi di Pegunungan Papua Part I"
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di Pustaka Pandani
Silahkan komentar anda,
Salam
Irfan Dani, S. Pd.Gr