Oleh: Silvia Trivena
Pagi
ini, aku bangun pagi sekali. Aku juga tidak tahu angin apa yang merasuk dalam tubuhku hingga aku bisa bangun
pagi buta seperti ini. Aku termasuk seorang gadis yang pemalas, cuek, dan
sangat tidak peduli dengan lingkungan sekitarku. Namun di sisi lain aku adalah
gadis yang mudah simpatik terhadap orang lain. Jangankan aku merawat lingkungan
di sekitarku, merawat diriku sendiri saja belum seutuhnya bisa, apalagi merawat
lingkungan. Ayahku sangat peduli terhadap lingkungan, sampai-sampai rumahku
penuh dengan tumbuh-tumbuhan hijau, sehingga meneduhkan suasana rumahku. Ayahku
sangat rajin merawatnya dan tidak membiarkan seorangpun merusak tanamannya itu,
walaupun hanya terinjak oleh satu jari kakipun.
Matahari
sudah mulai muncul dari ufuk timur. Tiba-tiba ponselku berbunyi, dan ternyata
temanku mengajakku untuk lari pagi. Aku hanya mencuci mukaku dan ganti baju.
Hal itu tidak jarang aku lakukan setiap harinya. Selalu sarapan dengan berjalan
dan pergi tergesa-gesa, sehingga tidak jarang banyak nasi yang berceceran di
lantai.
Aku dan teman-temanku sudah sepakat
untuk bertemu di sebuah kafe seberang jalan raya. Tempat itu sudah biasa menjadi
tempat menongkrongan dan markas buat kami untuk berkumpul. Namun, di tempat itu
kami hanya membeli empat gelas kopi susu, kemudian pergi.
“Permisi buk, saya pesan kopi
susunya empat gelas ya buk”
“Silahkan menunggu beberapa menit
lagi.”
“Empat gelas kopi siap untuk
dinikmati, jangan lupa untuk selalu membuang sampah pada tempatnya. Terima
kasih atas kunjungan anda.” Kata pelayan kafe itu sambil tersenyum padaku.
Hati
kecilku berkata, “peduli sekali pelayan
kafe itu, padahal belum tentu juga aku akan membuang gelas bekas kopi yang aku
beli ke dalam tong sampah”. Setelah
kopinya habis, aku melemparkan gelas itu di sembarang tempat. Seperti biasa,
aku hanya cuek dengan lirikan orang-orang di sekitarku. Selanjutnya, kami
melanjutkan perjalanan ke sebuah pusat perbelanjaan dengan niat hanya ingin
jalan-jalan saja.
“Eh, ke toko itu yuk?” Kata Shelly
sambil menunjuk sebuah toko yang menjual barang-barang unik dan terbuat dari
barang-barang bekas.
“Males ah, kalian saja yang kesana,
aku pulang duluan.”
Aku
segera melangkah pergi. Dan tanpa tersadar aku melangkahkan kakiku di sebuah
taman yang terlihat sepi pengunjung. Dan tidak sengaja aku menendang sebuah
kaleng minuman yang ada di jalan setapak dalam taman itu. Lalu, aku melihat
seorang anak perempuan dengan memikul sekarung sampah di bahunya yang berjalan
ke arah kaleng minuman itu dan langsung memungutnya. Aku segera menghampiri
anak perempuan itu.
“Hai, sedang apa kau disini?
“Aku sedang bekerja kak.”
“Apakah setiap harinya kamu pergi
memulung? Lalu, dimana orang tuamu?”
“Iya kak, orang tuaku sudah lama
meninggal dan aku hidup bersama paman dan bibiku. Disela-sela pekerjaanku ini, aku juga membuat banyak sekali
kerajinan tangan yang terbuat dari sampah-sampah yang aku pungut, misalnya
kaleng bekas dan lembaran-lembaran koran bekas yang aku temukan. Namun, aku
ingin sekali menjualnya untuk menambah uang tabunganku selama ini.”
“Boleh aku melihatnya? Dimana
rumahmu?”
“Boleh-boleh kak. Aku senang sekali
kakak mau melihatnya. Rumahku tidak jauh dari sini.”
Dan sesampainya di rumah anak
perempuan itu, aku dibuat takjub dengan kerajinan tangan yang ia buat. Walaupun, hanya terbuat dari kaleng bekas
ataupun koran yang telah usang, ia telah menyulapnya menjadi sebuah kreasi yang
memiliki nilai seni yang tinggi. Dan aku berjanji akan membantunya untuk
memasarkan kerajinan tangannya itu kepada teman-temanku di sekolah.
Semenjak aku bertemu dengan anak perempuan
itu, aku menjadi seorang gadis yang peduli dengan lingkungan dan menjadi
seorang gadis yang penuh dengan inovasi untuk menyulap sampah yang tidak ada
harganya menjadi berharga. Aku bersyukur sekali pertemuan itu bisa terjadi.
Anak perempuan itu sangat menginspirasi
hidupku. Aku berniat ingin mendirikan sebuah industri kecil untuk mengembangkan
usahaku itu. Aku juga ingin sekali menjual hasil karya yang anak perempuan itu
buat dengan harapan bisa membuatnya bersekolah. Dan sebagian hasil yang aku
dapatkan, akan aku buat untuk menyekolahkan seorang anak perempuan yang telah
merubah hidupku menjadi seperti ini.
Kita dapat memanfaatkan sampah yang
masih mungkin untuk kita manfaatkan. Keadaan lingkungan sekitar kita adalah
cerminan keadaan hidup kita. Oleh karena itu, kita perlu membiasakan diri kita
untuk memilah sampah kering dan sampah basah, dengan menyediakan dua tempat
berbeda. Sampah memiliki sejuta manfaat.
*****
0 Response to "SEJUTA MANFAAT DARI SETUMPUK SAMPAH"
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di Pustaka Pandani
Silahkan komentar anda,
Salam
Irfan Dani, S. Pd.Gr