JAKARTA - Pemerintah terus mematangkan rencana penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kini, pembahasan sudah masuk ke hal-hal teknis. Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, salah satu hal teknis yang dibahas adalah perihal siapa saja yang berhak atau tidak berhak mendapat fasilitas pembebasan PBB.
“Masyarakat yang merasa kurang mampu, silakan nanti mendaftar ke Pemda agar bebas PBB, tentu nanti diverifikasi juga,” ujar Ferry pada Jawa Pos (induk JPNN) kemarin (7/3).
Lalu, apa kriteria masyarakat kurang mampu? Ferry menggunakan istilah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kriteria tersebut bisa jadi berbeda-beda antardaerah, sehingga pemerintah pusat akan membuat guidance atau petunjuk untuk menentukan mana saja masyarakat yang masuk kriteria MBR.
“Atau kalau Pemda punya parameter sendiri juga tidak apa-apa,” katanya.
Menurut Ferry, dalam hal rencana pembebasan PBB ini, pemerintah pusat dalam posisi mendorong dan memfasilitasi karena saat kewenangan memungutnya ada pada pemerintah daerah (Pemda).
Karena itu, kalau ada Pemda yang merasa kerepotan untuk melakukan verifikasi penentuan siapa yang berhak mendapat pembebasan PBB, Kantor Agraria atau Pertanahan di daerah siap membantu. “Jadi tidak ada alasan daerah untuk menolak rencana ini,” ucapnya.
Sebab, lanjut dia, sebenarnya sudah ada beberapa database yang bisa digunakan untuk menentukan kriteria masyarakat yang berhak mendapat pembebasan PBB, misalnya para penerima Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang menjadi program pemerintah pusat. “Beberapa Pemda kan juga punya program bantuan sosial, jadi bisa pakai data itu juga,” ujarnya.
Sementara itu, untuk masyarakat dengan karakter tertentu seperti yang tinggal di tengah perkotaan dengan tarif PBB mahal, maka bisa menggunakan skema pengajuan surat permohonan pembebasan PBB. Jika memang dinilai layak, maka pasti akan diloloskan permohonannya. “Makanya, Pemda harus bijaksana,” katanya.
Terkait kekhawatiran penolakan Pemda karena pembebasan PBB bakal mengurangi potensi Penerimaan Asli Daerah (PAD), Ferry mengatakan jika hal itu tidak perlu terjadi. Sebab, pembebasan PBB hanya diberikan untuk masyarakat kurang mampu, sedangkan masyarakat yang mampu pemilik rumah-rumah besar, serta bangunan komersial seperti perkantoran, hotel, restoran, dan lain-lain, tetap harus membayar PBB. “Jadi, PAD dari PBB tidak akan berkurang signifikan,” ucapnya.
Lalu, kapan pembebasan PBB diberlakukan? Menurut Ferry, karena terkait dengan PAD yang masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka perubahan penerimaan daerah hanya bisa dilakukan dalam tahun anggaran yang baru. "Perkiraan saya, 2016 bisa berlaku," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan jika keputusan final terkait rencana pembebasan PBB tetap ada di tangan Pemda. Namun, jika Pemda memang ingin meringankan beban warganya yang kurang mampu, maka bisa tetap mencari alternatif sumber pendapatan lain. 'Ini kan itikad baik, jadi mestinya direspon positif' ujarnya.
“Masyarakat yang merasa kurang mampu, silakan nanti mendaftar ke Pemda agar bebas PBB, tentu nanti diverifikasi juga,” ujar Ferry pada Jawa Pos (induk JPNN) kemarin (7/3).
Lalu, apa kriteria masyarakat kurang mampu? Ferry menggunakan istilah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kriteria tersebut bisa jadi berbeda-beda antardaerah, sehingga pemerintah pusat akan membuat guidance atau petunjuk untuk menentukan mana saja masyarakat yang masuk kriteria MBR.
“Atau kalau Pemda punya parameter sendiri juga tidak apa-apa,” katanya.
Menurut Ferry, dalam hal rencana pembebasan PBB ini, pemerintah pusat dalam posisi mendorong dan memfasilitasi karena saat kewenangan memungutnya ada pada pemerintah daerah (Pemda).
Karena itu, kalau ada Pemda yang merasa kerepotan untuk melakukan verifikasi penentuan siapa yang berhak mendapat pembebasan PBB, Kantor Agraria atau Pertanahan di daerah siap membantu. “Jadi tidak ada alasan daerah untuk menolak rencana ini,” ucapnya.
Sebab, lanjut dia, sebenarnya sudah ada beberapa database yang bisa digunakan untuk menentukan kriteria masyarakat yang berhak mendapat pembebasan PBB, misalnya para penerima Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang menjadi program pemerintah pusat. “Beberapa Pemda kan juga punya program bantuan sosial, jadi bisa pakai data itu juga,” ujarnya.
Sementara itu, untuk masyarakat dengan karakter tertentu seperti yang tinggal di tengah perkotaan dengan tarif PBB mahal, maka bisa menggunakan skema pengajuan surat permohonan pembebasan PBB. Jika memang dinilai layak, maka pasti akan diloloskan permohonannya. “Makanya, Pemda harus bijaksana,” katanya.
Terkait kekhawatiran penolakan Pemda karena pembebasan PBB bakal mengurangi potensi Penerimaan Asli Daerah (PAD), Ferry mengatakan jika hal itu tidak perlu terjadi. Sebab, pembebasan PBB hanya diberikan untuk masyarakat kurang mampu, sedangkan masyarakat yang mampu pemilik rumah-rumah besar, serta bangunan komersial seperti perkantoran, hotel, restoran, dan lain-lain, tetap harus membayar PBB. “Jadi, PAD dari PBB tidak akan berkurang signifikan,” ucapnya.
Lalu, kapan pembebasan PBB diberlakukan? Menurut Ferry, karena terkait dengan PAD yang masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka perubahan penerimaan daerah hanya bisa dilakukan dalam tahun anggaran yang baru. "Perkiraan saya, 2016 bisa berlaku," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan jika keputusan final terkait rencana pembebasan PBB tetap ada di tangan Pemda. Namun, jika Pemda memang ingin meringankan beban warganya yang kurang mampu, maka bisa tetap mencari alternatif sumber pendapatan lain. 'Ini kan itikad baik, jadi mestinya direspon positif' ujarnya.
Sumber: JPNN
0 Response to "Hore! Mulai 2016, Masyarakat Miskin Bebas PBB"
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di Pustaka Pandani
Silahkan komentar anda,
Salam
Irfan Dani, S. Pd.Gr