SMA Negeri Atengmelang adalah salah satu sekolah negeri yang berada di Desa Lembur Tengah, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, NTT. Desa ini terletak di antara pegunungan atau orang di sana menyebut desa di dalam tajuk. Untuk menuju desa ini dapat ditempuh menggunakan motor, 1—2 jam dari ibu kota Kabupaten Kalabahi dengan melewati jalan aspal yang rusak serta penuh tikungan dan tanjakan. Desa Lembur Tengah yang belum terjamah oleh listrik, dibagi menjadi beberapa dusun dan salah satunya adalah dusun Atengmelang.
Di sinilah baru berdiri SMA Negeri pada tahun 2013 yang selama semester pertama masih bergantian gedung dengan SD GMIT Atengmelang, dan mulai semester dua sekolah ini sudah memiliki tempat sendiri. SMA ini berada di ketinggian dan jauh dari rumah penduduk, sehingga perjalanan ke sekolah ditempuh rata-rata dalam waktu 30 menit dengan jalan yang berliku liku, mendaki dan juga turun lembah. Inilah kisah yang diungkapkan Linda Liana, guru SM3T angkatan IV dari Universitas Negeri Yogyakarta. Linda yang mulai bertugas di sana sejak Agustus 2014 tersebut menjelaskan bahwa di SMA Negeri Atengmelang terdiri dari kelas X sebanyak 23 siswa, kelas XI sebanyak 27 siswa, 3 guru tetap, 10 guru kontrak, dan 3 pegawai TU.
“Bangunan SMA terdiri dari dua ruang kelas, satu ruang kantor, dan dua toilet merupakan bangunan yang dibangun oleh guru-guru dan siswa serta bantuan masyarakat,” kata Linda. “Saya terharu melihat keadaan sekolah dan bagaimana kerja keras mereka untuk mendirikan sekolah di desa ini.” Rasa gotong royong dan kerja keras mereka merupakan salah satu sifat yang masih sangat melekat pada penduduk sekitar. Mereka menggunakan kayu dan bambu untuk mendirikan sekolah yang akan menjadi tempat siswa-siswa untuk menuntut ilmu.
Menurut alumni Prodi Pendidikan Matematika FMIPA UNY tersebut, di sekolah ini sangat minim fasilitas, tetapi itu tidak menyurutkan siswa dalam belajar. Meja dan kursi dibuat sendiri dengan kayu dan bambu seadanya. Fasilitas pembelajaran yang benar-benar terbatas adalah buku pelajaran. Buku pelajaran hanya dimiliki guru mata pelajaran itupun buku-buku yang masih menggunakan kurikulum terdahulu seperti KBK dan KTSP, bahkan beberapa pelajaran masih belum ada buku pelajaran. Siswa belajar dengan mencatat apa yang dijelaskan ataupun dibacakan oleh guru saja.
Selain itu, tidak ada satu pun buku-buku bacaan yang dapat dibaca siswa dalam menambah pengetahuan di luar mata pelajaran. “Fasilitas pembelajaran belum ada, termasuk penggaris pun belum ada sehingga saya menggunakan belahan bambu untuk dijadikan penggaris,” tutur Linda. Di sini kesadaran untuk bersekolah masih kurang, terbukti dengan masih adanya siswa yang sering terlambat bahkan tidak masuk sekolah.
“Selama ini saya belum pernah mengajar dengan siswa yang lengkap,” katanya. “Setiap hari pasti ada siswa yang tidak berangkat, alasannya adalah harus membantu orang tua di rumah ataupun di kebun mereka karena kehidupan di sini masih bergantung pada hasil alam di sekitar. Selain itu, keadaan di sini jika malam hari sampai pagi hari, udaranya sangat dingin sehingga kebanyakan siswa malas untuk berangkat sekolah.”
Warga Ketawangrejo, Kutoarjo, Purworejo tersebut mengisahkan pengalaman awal mengajar yang mencengangkan, yaitu ketika salah satu siswa kelas X diminta untuk mengerjakan soal bilangan berpangkat dan siswa itu tidak bisa menjawabnya. Ternyata siswa tersebut belum memahami perkalian. “Hal ini menjadikan saya ingin mengetahui kemampuan matematika siswa tentang perkalian,” kata Linda.
Dia memberikan soal perkalian satu digit pada masing-masing siswa dan ternyata sebagian besar siswa belum bisa menghitung perkalian. “Hal ini membuat saya sangat sedih, ternyata beginilah pendidikan di daerah ini yang jauh berbeda dengan keadaan pendidikan di Jawa,” ungkap Linda.
Walau begitu, Linda bersyukur berada di tengah-tengah mereka, karena di sinilah Linda belajar bagaimana hidup dengan keadaan yang jauh berbeda. Di Atengmelang siswa yang masih sangat menghormati guru-guru mereka, setiap pagi pasti ada siswa yang membawakan tas menuju ke sekolah dan setiap kali mereka juga mengantarkan bahan makanan seperti singkong, daun singkong, jantung pisang dan sebagainya. “Jika Tuhan menempatkan kita di manapun itu, yakinlah bahwa Tuhan menganggap kita mampu di sana,” tutup Linda.
Di sinilah baru berdiri SMA Negeri pada tahun 2013 yang selama semester pertama masih bergantian gedung dengan SD GMIT Atengmelang, dan mulai semester dua sekolah ini sudah memiliki tempat sendiri. SMA ini berada di ketinggian dan jauh dari rumah penduduk, sehingga perjalanan ke sekolah ditempuh rata-rata dalam waktu 30 menit dengan jalan yang berliku liku, mendaki dan juga turun lembah. Inilah kisah yang diungkapkan Linda Liana, guru SM3T angkatan IV dari Universitas Negeri Yogyakarta. Linda yang mulai bertugas di sana sejak Agustus 2014 tersebut menjelaskan bahwa di SMA Negeri Atengmelang terdiri dari kelas X sebanyak 23 siswa, kelas XI sebanyak 27 siswa, 3 guru tetap, 10 guru kontrak, dan 3 pegawai TU.
“Bangunan SMA terdiri dari dua ruang kelas, satu ruang kantor, dan dua toilet merupakan bangunan yang dibangun oleh guru-guru dan siswa serta bantuan masyarakat,” kata Linda. “Saya terharu melihat keadaan sekolah dan bagaimana kerja keras mereka untuk mendirikan sekolah di desa ini.” Rasa gotong royong dan kerja keras mereka merupakan salah satu sifat yang masih sangat melekat pada penduduk sekitar. Mereka menggunakan kayu dan bambu untuk mendirikan sekolah yang akan menjadi tempat siswa-siswa untuk menuntut ilmu.
Menurut alumni Prodi Pendidikan Matematika FMIPA UNY tersebut, di sekolah ini sangat minim fasilitas, tetapi itu tidak menyurutkan siswa dalam belajar. Meja dan kursi dibuat sendiri dengan kayu dan bambu seadanya. Fasilitas pembelajaran yang benar-benar terbatas adalah buku pelajaran. Buku pelajaran hanya dimiliki guru mata pelajaran itupun buku-buku yang masih menggunakan kurikulum terdahulu seperti KBK dan KTSP, bahkan beberapa pelajaran masih belum ada buku pelajaran. Siswa belajar dengan mencatat apa yang dijelaskan ataupun dibacakan oleh guru saja.
Selain itu, tidak ada satu pun buku-buku bacaan yang dapat dibaca siswa dalam menambah pengetahuan di luar mata pelajaran. “Fasilitas pembelajaran belum ada, termasuk penggaris pun belum ada sehingga saya menggunakan belahan bambu untuk dijadikan penggaris,” tutur Linda. Di sini kesadaran untuk bersekolah masih kurang, terbukti dengan masih adanya siswa yang sering terlambat bahkan tidak masuk sekolah.
“Selama ini saya belum pernah mengajar dengan siswa yang lengkap,” katanya. “Setiap hari pasti ada siswa yang tidak berangkat, alasannya adalah harus membantu orang tua di rumah ataupun di kebun mereka karena kehidupan di sini masih bergantung pada hasil alam di sekitar. Selain itu, keadaan di sini jika malam hari sampai pagi hari, udaranya sangat dingin sehingga kebanyakan siswa malas untuk berangkat sekolah.”
Warga Ketawangrejo, Kutoarjo, Purworejo tersebut mengisahkan pengalaman awal mengajar yang mencengangkan, yaitu ketika salah satu siswa kelas X diminta untuk mengerjakan soal bilangan berpangkat dan siswa itu tidak bisa menjawabnya. Ternyata siswa tersebut belum memahami perkalian. “Hal ini menjadikan saya ingin mengetahui kemampuan matematika siswa tentang perkalian,” kata Linda.
Dia memberikan soal perkalian satu digit pada masing-masing siswa dan ternyata sebagian besar siswa belum bisa menghitung perkalian. “Hal ini membuat saya sangat sedih, ternyata beginilah pendidikan di daerah ini yang jauh berbeda dengan keadaan pendidikan di Jawa,” ungkap Linda.
Walau begitu, Linda bersyukur berada di tengah-tengah mereka, karena di sinilah Linda belajar bagaimana hidup dengan keadaan yang jauh berbeda. Di Atengmelang siswa yang masih sangat menghormati guru-guru mereka, setiap pagi pasti ada siswa yang membawakan tas menuju ke sekolah dan setiap kali mereka juga mengantarkan bahan makanan seperti singkong, daun singkong, jantung pisang dan sebagainya. “Jika Tuhan menempatkan kita di manapun itu, yakinlah bahwa Tuhan menganggap kita mampu di sana,” tutup Linda.
Sumber: uny
loading...
(function(){
var D=new Date(),d=document,b='body',ce='createElement',ac='appendChild',st='style',ds='display',n='none',gi='getElementById';
var i=d[ce]('iframe');i[st][ds]=n;d[gi]("M283033ScriptRootC165025")[ac](i);try{var iw=i.contentWindow.document;iw.open();iw.writeln("
0 Response to "Kisah Pengabdian Linda Liana Guru SM-3T di Pulau Alor"
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di Pustaka Pandani
Silahkan komentar anda,
Salam
Irfan Dani, S. Pd.Gr