Pendidikan karakter belakangan ini sering disebut-sebut lagi. Banyak kalangan yang mensosialisasikannya, seperti sesuatu yang baru. Namun setelah dipahami defenisi pendidikan dalam UU nomor 20 tahun 2003, pendidikan itu sudah mencakup pendidikan karakter yang kini kembali disebut-sebut.
Menurut UU nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencanauntuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Jika dipahami lebih jauh, dalam UU ini sudah mencakup pendidikan karekter. Misalnya pada bagian kalimat terakhir dari defenisi pendidikan dalam UU tentang SISDIKNAS ini, yaitu memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selain bagian dari defenisi pendidikan di Indonesia, bagian kalimat tersebut juga menggambarkan tujuan pendidikan yang mencakup tiga dimensi. Yaitu dimensi ketuhanan, pribadi dan sosial. Artinya, pendidikan bukan diarahkan pada pendidikan yang sekuler, bukan pada pendidikan individualistik, dan bukan pula pada pendidikan sosialistik. Tapi dari defenisi pendidikan ini, pendidikan yang diarahkan di Indonesia itu adalah pendidikan mencari keseimbangan antara ketuhanan, individu dan sosial.
Dimesi ketuhanan yang menjadi tujuan pendidikan ini tak menjadikan pendidikan menjadi pendidikan yang sekuler. Karena dalam pendidikan sekuler, agama hanya akan dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran tanpa menjadikannya dasar dari ilmu yang dipelajari.
Namun terkadang kita bangga melihat corak dan karakteristik pendidikan Barat yang unik dan maju. Tetapi tidak bisa mengesampingkan kebobrokan moral dan etika yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial manusia yang agung. Dan juga menghilangkan fitrah asal manusia itu sendiri. Seperti teori Darwin. Jadi pendidikan di Indonesia tidak memisahkan antara agama dan pendidikan, namun keduanya disandingkan untuk mencapai generasi yang berotak Jerman dan berhati Mekkah. Sehingga generasi yang terbentuk itu tidak menjunjung tinggi nilai-nilai materialistik saja. Dengan menjadikan agama sebagai landasasan, generasi Indonesia menjadi generasi mempunyai karakterisitik sendiri sebagaimana yang sering disebut dalam pendidikan karakter.
Jadi dalam pendidikan di Indonesia, beranjak dari UU no 20 tahun 2003, pendidikan yang mencakup dimensi ketuhanan akan menjadikan agama sebagai landasan. Bukan memisahkan antara keduanya. Karena ketika keduanya dipisahkan, bagaimana tidak generasi yang dihasilkan itu adalah generasi muda yang berkepribadian ganda dan berprilaku buruk. Dan ini menjadi salah satu jalan pembentukan karakter bagi generasi muda Indonesia.
Kemudian pendidikan juga tidak mengajarkan pada pendidikan individualistik, yaitu pendidikan yang mengunggulkan diri sendiri namun hanya untuk kepentingan diri sendiri. Seperti yang disebutkan dalam UU no 20 tahun 2003, pendidikan sebagai usaha sadar agar peserta didik mengembangkan potensinya dalam pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia. Empat itu menjadi landasan kedua setelah potensi spiritual keagamaan. Ketika peserta didik melakukan usaha belajarnya dalam situasi tanpa landasan, menjadi jalan bagi peserta didik berfokus pada pengumpulan harta benda demi memuaskan diri sendiri. Tanpa pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan akhlak mulian, peserta didik yang dihasilkan adalah manusia yang unggul secara individualistik. Unggul secara individualistik menjadikan mereka rakus, dan menjadi manusia yang mempunyai keberanian membunuh sesama demi mendapatkan apa yang diinginkannya.
Pendidikan Indonesia juga tidak berupa pendidikan sosialistik yang menempatkan pendidikan sebagai layanan publik dan membebankan tanggung jawab penyedian-pembiayaan pendidikan kepada negara. Menurut UU no 20 tahun 2003, pendidikan itu usaha sadar untuk mengembangkan potensi keterampilan peserta didik dalam hal keterampilan yang diperlukan diri peserta didik, masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan keterampilan yang diberikan kepada peserta didik, peserta didik dapat mengembangkan diri dengan petensi tersebut. Ketika keterampilan ini benar-benar tercapai, tak ada lagi manusia yang membebankan manusia lain. Masing-masingnya punya keterampilan, maka dengan keterampilan masing-masing, masing-masing individu berpeluang mengembangkan dirinya. Jadi tidak membebankan semuanya pada negara.
Bukan sekuler, bukan individualistik dan bukan sosialistik, namun penyeimbangan dari ketiganya. Pendidikan dalam UU no 20 tahun 2003 itu adalah mengembangkan potensi peserta didik yang menjadikan agama sebagai landasan utama hidupnya, tidak mementingkan kepentingan sendiri dan memiliki keterampilan yang berguna untuk dirinya dan orang-orang sekitarnya.
.
loading...
(function(){
var D=new Date(),d=document,b='body',ce='createElement',ac='appendChild',st='style',ds='display',n='none',gi='getElementById';
var i=d[ce]('iframe');i[st][ds]=n;d[gi]("M283033ScriptRootC165025")[ac](i);try{var iw=i.contentWindow.document;iw.open();iw.writeln("
0 Response to "PENDIDIKAN KARAKTER"
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di Pustaka Pandani
Silahkan komentar anda,
Salam
Irfan Dani, S. Pd.Gr